Wa'alaikumussalam wr wb.
Dalam masalah penggadaian, ada satu hal yang telah disepakati oleh para ulama, bahwa penggadai (yang meminjamkan uang) tidak boleh memanfaatkan barang yang digadai, kecuali binatang (maka ia boleh mengendarainya atau memerah susunya) sebagai imbalan atas kewajibannya untuk memberikan makan pada binatang tersebut, karena jika tidak diberi makan, maka ia akan mati.
Adapun jika barang gadai tersebut selain binatang, maka hukum asalnya adalah: "bahwa sipenggadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai". Artinya, pada saat akad tidak boleh ada klausul atau syarat yang mengatakan: "bahwa pemanfaatan barang gadai tersebut adalah hak penggadai".
Tetapi kalau setelah akad terjadi, kemudian yang menggadaikan memberikan izin kepada penggadai untuk memanfaatkan barang gadai, maka sebagian ulama (Imam Ahmad dan sebagian pengikut Abu Hanifah) membolehkannya.
Dalam kasus yang ditanyakan, maka yang perlu diketahui adalah: "apakah hak penggadai untuk menggarap sawah tersebut disebutkan dalam akad atau tidak?". Jika disepakati dari awal akad, maka hukumnya menjadi tidak boleh bagi penggadai untuk menggarap sawah tersebut, hal itu disebabkan karena penggadai berarti telah mengambil keuntungan dari uang yang dipinjamkan, yang berarti riba, padahal pinjam meminjam dalam Islam itu harus dengan "niat tolong menolong" dan bukan untuk mencari keuntungan (QS. 2:280). Lain halnya kalau kemudian si peminjam pada saat mengembalikan pinjamannya, memberikan lebih dari nominal pinjamannya dengan keikhlasannya dan tanpa diminta oleh yang meminjamkan, maka hal tersebut adalah kebaikan yang diperbolehkan, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah saw.
Wallahu a'lam bishshawab.
Wassalamu 'alaikum wr wb.