Pernikahan Poligami

Pernikahan & Keluarga, 2 Agustus 2021

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

Barakallahu fiikum untuk semua yang terlibat dalam pengelolaan Web ini.. 

Ana adalah istri ke3, alhamdulillah..suami ana sudah 2 tahun belakangan ini menggabung semua istri nya.. Ana awalnya merasa ana mungkin akan sanggup untuk menjalankan rumah tangga seperti ini, tapi lama kelamaan karna 1 dan lain hal yang membuat ana akhirnya meminta kepada suami ana untuk dipisah rumah dengan yang istri yang lain..tapi suami ana menolak dengan alasan ana belum pandai masak.. 

Akhirnya ana yang sudah tidak sanggup untuk tinggal dalam 1 rumah bersama yang lain memutuskan untuk minta cerai.. 

 

Pertanyaan ana adalah..

1. Bagaimana hukum nya jika ana meminta cerai karna tidak sanggup jika digabung dengan yang lain? Apakah ana termasuk golongan orang yang tidak mencium bau surga karna meminta cerai pada suami?

 

Sekarang sudah 3 minggu ana berpisah rumah dengan suami.. Tapi suami tidak pernah datang kecuali 2 kali.. Untuk menjenguk anaknya.. 

2.bagaimana dengan tanggung jawab saya sebagai istri yang tidak terlaksana apakah saya berdosa...? karna sebenarnya ana sangat ingin menjalankan tanggung jawab tapi karna suami tidak pernah datang ke rumah ana jadi ana kebingungan cara untuk menjaga makan minum dan kebutuhan lain nya

3.bagaimana solusi terbaik agar saya bisa ttp menjalankan tanggung jawab tanpa tinggal bersama dengan yg lain

 

Syukron jazaakumullah khairan.. 

 



-- Ummu Khaalid (Bogor)

Jawaban:

Wa alaikum salam warahmatullahi wabarakakatuhu.

Hukum asal menempatkan beberapa istri dalam satu rumah adalah mubah. Hukum itu bisa berubah karena kebiasaan atau urf masyarakat. Jika di masyarakat anda menyepakati bahwa beberapa istri harus diberikan rumah masing-masing,maka suami anda harus memberinya, tidak boleh menempatkan beberapa istri dalam satu rumah kecuali suami istri sepakat dengan itu. Jika masyarakat anda menganggap bahwa menempatkan beberapa istri dalam satu rumah itu bukan masalah,maka menempatkan mereka dalam satu rumah diperbolehkan.

Hal itu berdasarkan kaidah fikih yang berbunyi:

العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

“Adat itu bisa dijadikan sandaran hukum.”

Kaidah fikih diatas diambil dan disarikan dari ayat dan hadits sehingga bisa dijadikan panduan mengambil hukum. Diantara nya firman Allah:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” (QS Al-Baqarah : 233)

Syariat tidak menetapkan berapa ukuran “ma’ruf” yang dituntut dalam ayat ini, sehingga dikembalikan kepada ‘urf yang berlaku di masyarakat.

Sabda rasulullah saw kepada Hindun binti Utbah,istri sofyan:


خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ

“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR Bukhari, no. 5364 dan Muslim, no. 1714)

Kadar harta yang mencukupi anak-anak  itu tidak jelas ukurannya,maka ukurannya dikembalikan kepada ‘urf atau kebiasaan masyarakat setempat.

Terkait dengan pertanyaan anda bisa kami sampaikan:

  1. Hukum wanita meminta cerai kepada suaminya karena sudah tidak sanggup menjalankan hukum Allah dalam rumah tangga adalah mubah. Hukum Allah yang harus ditegakkan seorang istri kepada suaminya seperti menuruti kehendaknya dan taat kepadanya,melayani kebutuhannya,dan beberapa tugas lainnya. jika karena sesuatu seorang istri tidak bisa melaksanakan kewajiban itu,dia boleh mengajukan gugatan cerai. Hal itu lebih baik daripada menimbulkan kemaksiatan.

Kisah istri Tsabit bin Qois bisa menjadi acuan untuk mengajukan gugatan cerai, dimana dia mengajukan gugatan cerai kepada suaminya bukan karena akhlak suaminya yang tidak baik dan kesalehannya yang dia permasalahkan,tapi penyebabnya  adalah,dia tidak mampu dan tidak siap melayani suaminya yang menyebabkan tidak terlaksanya hukum Allah,yang menyebabkan kufur kepada suami,hidup bersma suami tapi tidak bisa melaksanakan hak-hak suami. Maka hal itu diadukan kepada rasulullah,seperti hadits berikut:

جَاءَتْ امرَأَةُ ثَابِت بْنِ قَيْس بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّه مَاأَنقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِيْنٍ وَلاَ خُلُقِ إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُواللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيقََتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا “

Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” (HR Al-Bukhari)

Wanita yang meminta cerai kepada suaminya karena alasan yang dibenarkan oleh syariat tidak termasuk wanita yang terhalang dari mencium bau surga. Yang diancam tidak mencium bau surga adalah wanita yang meminta cerai tanpa alasan syar’I,hanya memperturutkan hawa nafsu. Rasulullah bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.

“Wanita mana saja yang minta cerai dari suaminya tanpa adanya alasan, maka ia tidak akan mencium bau wanginya Surga (HR. Ibnu majah, Abu Dawud dan Tirmidzi)

  1. Adapun tugas istri,yaitu melayani suami dan menyiapkan kebutuhannya menjadi kewajiban manakala dia bersama suami,jika tidak bersama suaminya maka hal itu tak mungkin dilaksanakan. Jika tidak mungkin dilaksanakan maka tidak ada paksaan. Karena Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya.
  2. Jika anda tidak mau tinggal bersama suami anda dan bersama istri lainya,tidak mungkin anda melaksanakan tugas anda. Yang bisa anda lakukan adalah melakukan tugas anda ketika dia bersama anda.

Wallahu a’lambishowab. (as)



-- Amin Syukroni, Lc