Ragu Dan Shalat Jumat

Sholat, 13 Februari 2019

Pertanyaan:

Assalammualaikum Wr. Wb.

Ustadz, saya mau tanya.

Saya mengalami sudah agak lama. Jadi, saya selalu berusaha untuk ikut shalat Jumat. Dan Alhamdulillah, jika tidak ada halangan saya pasti ikut. Perlu saya cantumkan bahwa saya itu peragu.

Pernah suatu saat, dalam kurun waktu 3 minggu, saya bimbang. Pada hari Jumat minggu pertama dan kedua, saya sudah lupa apakah shalat Jumat saya batal atau tidak (saya pasti shalat Jumat). Tapi entah kenapa saya ingatnya batal dan menggantinya dengan shalat dhuhur.

Lalu pada hari Jumat minggu ketiga, saya masih ingat. Namun saya ragu apakah shalat saya diterima atau tidak. Karena ketika sudah rakaat terakhir, dan mau salam (posisi duduk takhiyat akhir), saya ragu apakah saya sudah selesai membaca doa takhiyat akhir saya (entah karena memang sudah dibaca atau karena belum selesai, tetapi saya kurang fokus). Dan karena imam sudah salam, saya tidak ambil pikir keraguan tadi kemudian saya langsung ikut salam juga. Karena saya pernah baca di internet, keraguan orang yang sering ragu tidak perlu dianggap, karena hanya akan menyusahkan orang itu saja. Dan juga waktu itu saya ingat kalau imam sudah lanjut, maka makmum juga harus segera lanjut.

Pertanyaan saya, apakah shalat Jumat saya yang minggu ketiga itu diterima? Soalnya saya pernah dengar pintu hati akan ditutup oleh Allah SWT, jika dalam 3 minggu tidak shalat Jumat satu kali pun.

Dan pertanyaan tambahan, semisal shalat Jumat kemudian karena suatu sebab, shalat Jumat itu tidak tahu batal atau tidak, namun menganggapnya batal karena tidak tahu tersebut, padahal ternyata tidak batal. Kemudian menggantinya dengan shalat dhuhur, apakah shalat Jumat tersebut sudah diterima oleh Allah SWT.? (Sudah dihitung sebagai shalat Jumat 1 kali dalam 3 minggu yang tadi saya bahas).

Maaf Kalau terlalu panjang karena ini sangat penting. Sekian dan terima kasih sebanyak-banyaknya atas jawabannya.

Wassalammualaikum Wr. Wb.



-- Muhammad Rizky Arif Handika (Bojonegoro)

Jawaban:

Wa'alaikumussalaam wrwb.

Dalam Fiqih ada kaidah :

لاَ يُعْتَبَرُ الشَّكُّ بَعْدَ الْفِعْلِ وَمِنْ كَثِيْرِ الشَّكِّ

“Rasa ragu setelah melakukan perbuatan dan rasa ragu dari orang yang sering ragu itu tidak dianggap”

Kaidah ini menjelaskan tentang orang yang mengalami keragu-raguan dalam suatu amalan. Jika rasa ragu itu muncul setelah melakukan suatu amalan, maka rasa itu tidak perlu dihiraukan. Demikian pula, jika rasa ragu itu muncul dari orang yang sering ragu.

Rasa ragu dari orang yang sering ragu, tidak perlu dianggap, karena menurutkan rasa ragu dalam kondisi seperti itu akan menimbulkan kesulitan yang berat baginya, serta termasuk takalluf (memaksa diri memikulkan beban yang ia tidak mampu). Bahkan orang seperti ini rasa ragunya perlu diobati dengan cara tidak memperdulikan rasa ragu yang muncul dan memantapkan hati saat beramal. Keraguan orang semacam ini tidak dianggap, maksudnya, tidak ada konsekuensi hukumnya.

Jadi, jika keraguan itu muncul setelah beramal maka ia tidak dianggap. Karena hukum asalnya, jika seseorang telah usai mengerjakan suatu amalan berarti amalan itu telah dilaksanakan secara sempurna. Keraguan yang muncul setelah beramal hanya sekedar bisikan syetan. Obat dari rasa ragu jenis ini ialah tidak memperdulikannya.

Adapun jika keraguan itu muncul di tengah-tengah saat beramal, atau akan melaksanakan ibadah, maka ketika itu keraguannya dianggap. Karena jika seseorang ragu, apakah ia sudah mengerjakan ibadah atau belum, maka hukum asalnya ia belum mengerjakannya..


Di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. 2:286)

Diantara perkara yang berat dan tidak mampu dipikul seorang hamba ialah apabila rasa ragu yang muncul dari orang yang mengalami penyakit ragu itu diperdulikan. Sehingga hal itu ditiadakan oleh Allâh Azza wa Jalla . Dalam ayat yang lain Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicaraan itu tiadalah memberi mudharat sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allâh.” (QS. 58:10)

Keragu-raguan yang muncul dari orang yang sering ragu pada hakikatnya berasal dari setan. Oleh karena itu, keraguan itu tidak perlu dihiraukan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa setan senantiasa menggoda dalam diri manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِيْ مِنَ اْلإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ

“Sesungguhnya setan berjalan di dalam diri manusia di tempat mengalirnya darah

Demikian pula, kaidah ini telah ditunjukkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu hadits shahih tentang seorang laki-laki yang merasakan sesuatu di perutnya seolah-olah ia telah berhadats, sehingga ia ragu-ragu apakah telah berhadats ataukah belum, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا , أَوْ يَجِدَ رِيْحًا

(janganlah ia keluar dari shalatnya sehingga mendengar suara atau mendapatkan baunya), yaitu, janganlah ia keluar dari shalatnya hanya karena yang ia rasakan itu sampai benar-benar yakin bahwa ia telah berhadats. Hadits ini sekaligus merupakan dalil umum bahwa keyakinan tidak bisa dikalahkan hanya karena sekedar keragu-raguan.

Demikian, semoga senantiasa berkenan untuk memberikan kemudahan, taufiq dan ridho-Nya

Wallahu a'lam bishshawaab

Wassalaamu 'alaikum wrwb.



-- Agung Cahyadi, MA