Assalaamu'alaikum ustad..
Afwan mau tanya dan minta solusi...
Di kampung kami telah dilakukan pengukuran arah kiblat, dan ternyata masjid yg sering kami pakai utk sholat arah kiblatnya ada keslahan, setelah dilakukan pengukuran arah kiblat, posisi kiblatnya itu serong 20 derajat. Namun ketika kami memiringkan sejadah sesuai dengan arah kiblat yg telah diukur, ada jemaah yg tidak sepakat dan tidak mau sejadahnya itu dimiringkan, dan maunya sholat seperti biasa tanpa harus di serongkan sesuai arah kiblat. Yg jadi pertanyaan, ketika sudah dilakukan pengukuran arah kiblat, apakah kami wajib mengikuti sesuai dengan kemiringan yg telah di ukur?
Terus bagaimana solusinya untuk menasehati jemaah yg menolak utk dimiringkan, karena mereka beralasan klo sholatnya dimiringkan 20 derajat, kesannya jadi kurang bagus pada shaf makmum...
Wa'alaikumussalaam wrwb.
Para Ulama' telah bersepakat bahwa menghadap kiblat itu adalah salah satu syarat sahnya shalat, baik shalat fardhu atau shalat sunnah
Dan untuk menghadap kiblat ada dua keadaan:
[1] ketika melihat ka’bah secara langsung, [2] ketika tidak melihat ka’bah secara langsung.
Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang mampu melihat ka’bah secara langsung, wajib baginya menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia berijtihad untuk menghadap ke arah lain.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang langsung melihat ka’bah, wajib baginya menghadap persi ke arah ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan ulama mengenai hal ini. Ibnu ‘Aqil mengatakan,”Jika melenceng sebagian dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak sah”.”
Namun bagi yang tidak melihat Ka'bah, maka menurut pendapat ulama Hanafiyah, pendapat yang terkuat pada madzhab Malikiyah dan Hanabilah, juga hal ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i (sebagaimana dinukil dari Al Muzaniy), mereka mengatakan bahwa bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah ka’bah (tidak mesti persis). Jadi cukup menurut persangkaan kuatnya di situ arah kiblat, maka dia menghadap ke arah tersebut (dan tidak mesti persis).
Dalil dari pendapat pertama ini adalah ayat,
ÙˆÙŽØÙŽÙŠÙ’ث٠مَا ÙƒÙنْتÙمْ ÙÙŽÙˆÙŽÙ„Ùّوا ÙˆÙØ¬ÙوهَكÙمْ شَطْرَهÙ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144).
Menurut pendapat pertama ini, mereka menafsirkan “syatro” dalam ayat tersebut dengan arah yaitu arah ka’bah. Jadi bukan yang dimaksud persis menghadap ke ka’bah namun cukup menghadap arahnya, yaitu cukup menghadap ke arah barat sudah dikatakan menghadap kiblat.
Juga berdasarkan hadit Nabi saat beliau di Madinah setelah hijroh:
مَا بَيْنَ الْمَشْرÙÙ‚Ù ÙˆÙŽØ§Ù„Ù’Ù…ÙŽØºÙ’Ø±ÙØ¨Ù Ù‚ÙØ¨Ù’لَةٌ
“Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Jadi maksudnya, bagi siapa saja yang tidak melihat ka’bah secara langsung maka dia cukup menghadap ke arahnya saja dan kalau di Indonesia berarti antara utara dan selatan adalah kiblat. Jadi cukup dia menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup ke barat) dan tidak mengapa melenceng atau tidak persis ke arah ka’bah.
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka kalau masjid kita sudah dengan posisi shalat didalam sudah menghadap kearah barat meskipun tidak persis ke arah Ka'bah, maka telah sah secara hukum fiqihnya
Adapun kalau ternyata arah kiblat masjid kita tidak persis ke arah Ka'bah, dan ada media yang dengannya kita bisa merubahnya persis ke arah Ka'bah, tentu kalau bisa kita rubah dengan tidak menimbulkan fitnah atau kegaduhan diantara jamaah, maka akan lebih baik
Demikian, semoga Allah berkenan untuk memberikan kemudfahan, taufiq dan ridho-Nya
Wallahu a'lam bishshawaab
Wassalaamu 'alaikum wrwb.